Sampai di Stasiun Rangkasbitung dari Jakarta itu sekitar 2 jam lalu disusul lagi naik mobil carteran. Tapi sebelum itu sembari menunggu mobil datang kita sempetin buat nengok museum multatuli yang ada di pusat kota Rangkas. Museumnya mini dan kayak dibuat modern namun tetap ini kurang banget kalau mau dapat informasi menyeluruh soal dia yang katanya pernah punya hunian di sini. Bayarnya juga cukup murah, tapi sungguh saat itu kota Lebak benar-benar gak bersahabat panas bener sampai hati saya makin panas saat kena cat calling abang-abang angkot. Sialan!
Saat mobil melaju, suasana meriah karena banyak yang mau karaokean. Saya menikmatinya sembari mengantuk berat dan sampai juga kita di Baduy Luar dengan posisi sudah lewat tengah hari. Tim leader saya pun membayar uang masuk dan mendaftarkan diri kita buat masuk ke Baduy Luar. Di pintu masuk ini sama seperti pertama kali saya datang penuh dengan pedagang yang sibuk teriak-teriak memanggil pembeli. Di sisi lain barudak Baduy dalam dan luar berpakaian tradisional dan berjalan kaki telanjang sibuk mengangkat bawaan berat pengunjung yang malas. Padahal tubuh mereka gak lebih besar dari yang punya tas. Masih sama ya fenomenanya.
Kita mulai jalan berbaris. Tidak ada pemandu hanya kami saja karena beberapa kawan sudah pernah beberapa kali ke sini dan kita pun tinggal mengikuti jalan besar yang banyak juga yang menanjak. Namun trekkingnya lumayan gak separah kalau mau ke Baduy Dalam. Jadi Baduy Luar ini masih memperbolehkan kita menggunakan barang elektronik sampai bahan mengandung kimia, seperti sabun sampo dan lain halnya dengan Baduy Dalam. Walau begitu tiap malam tidak ada listrik yang menyala, jadi kita cuma pakai lampu templok aja.
Setelah beberapa waktu tepatnya hampir 2 jam kami sampai di rumah kepala desa yang disewakan untuk pengunjung menginap. Mereka juga menyediakan makan malam yang dimasak langsung sama warga dan kita cuma bayar aja ke mereka. Lauknya itu ada ikan asin biasanya, sambal, nasi dan gak ada yang fancy ya. Kamar mandinya juga seadanya namun airnya begitu fresh segarnya. Dalam sore menuju malam itu kami mulai mengobrol ngalor ngidul ada yang aktif mendengarkan ada juga yang paling getol bicara dan menyindir sana sini. Sesuatu yang perlu dimaklumi, sekali lagi yang penting itu gimana kita menyikapinya kan.
Lalu menjelang malam, kelompok kami membawa berbagai macam permainan mulai dari Uno sampai game Warewolf yaitu permainan menebak srigala tetapi semi semi drama dan bermain peran. Hampir dipastikan muka saya selalu sama mau dapat peran apapun, sehingga sering dituduh macam-macam. Kemudian saat semakin malam, obrolan semakin dalam dan emosional, termasuk mengorek hubungan saya dengan salah satu rekan yang sudah menikah. Sumpah, gak ada apa-apaan kecuali teman mengobrol.
Namun, malam itu semakin mengelisahkan karena ada lelaki yang memanggil saya dan mengaku mengenal. Saya awalnya acuh dan bodo amet sampai semua orang tahu keesokan paginya bahwa ada yang mengenal saya tapi saya tak mengenalnya. Hingga tibalah kami di pagi trekking yang menyegarkan ini dada saya semakin sesak karena lelaki itu muncul lagi dan memanggil sembari mengonfirmasi bahwa dia adalah adek tingkat saya sewaktu kuliah. Saya beneran gak kenal sama dia, dan waktu kuliah pun saya gak populer hahaha.
Entah apa yang mendorongnya, tiba-tiba dia mengonfirmasi dirinya ke semua teman komunitas dan bertanya angkatan berapa sampai umur. Alhasil, semua jadi memandang saya ini dengan pandangan aneh karena saya terlampau TUA untuk mereka. Sungguh ini membuat saya tidak nyaman. Seperti mengusik ranah privasi yang ga suka saya bicarakan dan mereka gak percaya dengan umur saya yang setua itu dan mulai lah terjadi perbandingan. Pokoknya sebisa mungkin saya menghindari mereka dan mulut saya mendadak terkunci, seperti ada deru di dada yang meletup meletup karena marah.
Tetapi, pengasingan saya dari mereka justru mempertemukan saya dengan sosok yang membuat saya takjub. Saya sedang berbincang dengan beberapa warga Baduy, mendadak bertanya “Apa kenal dengan Sapri” , Sapri adalah sosok anak Baduy yang saya temui 10 tahun lalu. Saya begitu mengaguminya bahkan menghadiahkannya sebuah artikel berita karena begitu inspiratifnya dia. Meski tinggal di Baduy Dalam yang tidak membolehkan pendidikan tetapi Sapri diam diam suka sekali belajar bahkan dia bisa membaca dan sedikit berbahasa Inggris. Tetapi, semua warga di sana ramai ramai menujuk sosok pria tegap yang di depan saya sebagai Sapri yang dimaksud.
Senyumnya malu malu saat mengakui dirinya dulu tetapi saya seperti meragu karena pribadinya seperti tertutup dan tak banyak bicara, seperti bukan Sapri yang saya temui 10 tahun lalu, tetapi lagi-lagi warga mengatakan bahwa cuma dialah Sapri satu satunya di Baduy Dalam. Ah, serius? Walau bagaimanapun sosok Sapri ini membuat saya teralihkan dari emosi yang membara di dada saya gara gara kejadian kutukupret itu. Saya takjub menemukan Sapri lagi.
Pulang dari trekking tadi pagi saya masih berusaha menghindar dan bicara secukupnya. Saya benar-benar mengontrol gejolak emosi saya kala itu. Lalu saya mencari distraksi lain dan bertemulah dengan 2 anak-anak yang begitu menggemaskan sampai kita buat kursus berhitung kilat. Sungguh satu titik kelegaan yang membuat saya senang hingga tibalah waktu saya pulang. Tentu saja dengan segenap tenaga saya tumpahkan untuk jalan mengebut dan ternyata saya mampu hahaha, lagi lagi saya dibuat takjub dengan stamina saya hahaha.
Hingga saat pulang, entah kenapa saya yang ke toilet dengan teman malah ditinggal kereta begitu pun teman-teman saya. Entah kenapa perjalanan ini sedikit membuat saya mual dan sedih, sampai tumpah juga air mata karena kekesalan yang dipendam di dada. Sebab, saya merasa saat itu saya gak mendapat dukungan siapapun dan hal-hal yang membela saya dari tatapan judmental mereka. Ternyata kita perlu hati-hati dengan siapa kita berhadapan apalagi kepada orang yang belum kenal kita betul. Tapi harusnya, perasaan itu milik semua manusia kalau sudah tahu menyakiti kenapa diteruskan ya. Heran!
Saya juga jadi ingat lagi, saat itu bukan saya saja yang jadi bahan becandaan, tetapi teman saya yang lain yang dijudge secara tidak langsung hingga dia kelimpungan membela diri.
Baiklah, ini perjalanan sebenernya melihat lebih jauh karakter manusia. Saya belajar soal bagaimana menahan diri dari menyakiti dan lebih memperhatikan perasaan orang lain serta karakter lainnya. Saya belajar jadi manusia lebih bijak dan belajar dari kesalahan. Mungkin ini hikmahnya perjalanan kita gak bisa menghindari ketemu dengan orang-orang yang mengerikan ataupun yang terkasih. Yang paling penting buat boundaries yang jelas, dan tunjukkan kalau mereka ga bisa nyakitin kamu.
Jadi tetap positif melihat perjalanan dan rasakan tiap pelajaran dari kisah kamu. Semangat terus yook!