MITOS

MITOS

Part 1

BANDEL
.
.
.

“Saroh … ‘balek’ (balik) !” bentak Bu Kenik pada anak sulungnya yang bandel. Wanita ayu itu mendelik dengan tangan kanannya melambai beberapa kali. Itu kode panggilan pada anak sulungnya agar anak itu segera pulang.

“Ngge (iya),” jawab Saroh lesu. Mata itu, teriakan itu, ekspresi itu. Saroh hapal gerak-gerik ibunya kalau wanita yang melahirkannya itu akan memberikan hadiah. Hadiah jeweran atau pukulan, karena dia terlambat pulang.

“Jangan dijewer!” rengek Saroh sembari memegang kedua telinganya agar terbebas dari jeweran. Ekspresinya takut, karena tatapan mata ibunya yang membuat jantungnya berdegup dengan kencang.

“Kalo gak mau dijewer jangan nakal. Ibuk udah bilang berulang kali. Boleh main, tapi liat jam udah pukul berapa. Inget gak janjinya pulang jam berapa?” tanya Bu Kenik pada anaknya. Saroh menunduk. Dia tidak berani menatap wajah sang ibu.

“Jam setengah lima,” ucap Saroh pelan.

“Sekarang jam berapa?” tanya Bu Kenik lagi dengan lantang.

“Gak tau.”

“Liat senja di arah Barat sana. Menandakan Magrib akan datang. ‘Gak ilok’ (pamali) anak kecil main ke rumah orang belum pulang saat waktu ‘surup’. Mau digondol setan!” ucap Bu Kenik dengan jelas.

“Gak mau, Bu.” Saroh melihat langit yang berwarna oranye kemerahan. Seperti warna api yang terlihat hangat. Matanya memendar, melihat rumah-rumah yang lain pintunya sudah tertutup. Lampu teras mulai dinyalakan. Hanya lampu jalan masih mati.

“Udah, ayo ‘balek’ (balik)! Bapakmu pasti marah juga punya anak perempuan kok suka keluyuran. Udah dibilangin abis mandi sore jangan main ke rumah orang. Kamu kalo main gak inget waktu. Sekali-kali temenmu yang main ke sini. Bukan kamu terus yang datangi mereka,” gerutu Bu Kenik sambil menutup pintu rumah. Wanita yang menutupi rambutnya dengan ciput itu berjalan cepat sambil menggandeng anak sulungnya yang berusia sembilan tahun.

Saroh tidak akan menjawab perkataan ibunya, kenapa temannya yang lain enggan datang ke rumahnya. Mereka bilang, “Ibukmu judes, Roh.”

Banyak yang takut dengan ibunya. Sehingga, dia tidak punya teman bermain selain dirinya yang mendatangi mereka. Saroh rela datang ke rumah temannya dan menghibur mereka. Karena temannya senang dengan tingkah Saroh yang suka membuat kekonyolan.

Dia melihat jam dinding di tembok. Jarum jam menunjukkan pukul setengah enam petang. Pantas saja ibunya marah. Karena, dia selalu berjanji kalau jam setengah lima akan pulang ke rumah. Namun, janjinya tidak ditepati.

Saroh lupa janjinya, karena ditawari makan oleh Yu Lik. Emaknya Inun itu selalu saja menawarinya makan kalau dia sedang bermain ke sana. Alangkah senangnya dia. Hanya lauk tempe dan dadar jagung serta sambal tomat saja, Saroh makan dengan lahap. Dia kepedasan, karena tidak pernah makan-makanan pedas. Dikarenakan, dirinya punya sakit amandel. Namun, dia diam saja supaya Yu Lik tidak melarangnya makan sambal.

“Roh, makasih udah sering main ke sini. Inun hanya punya teman kamu aja. Kamu, kan, tau kalo Inun malu ke luar rumah. Jadi dia seneng kalo kamu di sini,” ucap Yu Lik padanya. Saroh sangat senang mendengar saat Yu Lik berterima kasih padanya. Dia pun membalas pujian tersebut.

Saroh melihat Inun di depannya yang makan dengan diam sambil mengunyah makanan yang dia makan. Kemudian, Saroh menatap kedua kaki Inun yang terlihat normal. Namun, saat Inun berjalan tampaklah keanehannya. Inun lebih tua dari Saroh. Terpaut tiga tahunan. Dulunya Inun anak yang normal seperti anak lainnya. Gara-gara sering demam tinggi dan mantri saat itu menyuntikkan obat penurun panas dan terjadilah Inun terkena polio. Kenapa Inun tidak diberikan sirup penurun panas saja? Kata emaknya, Inun tidak suka sirup yang katanya berasa pahit di lidah. Semenjak itu, salah satu kaki Inun pendek sebelah dan sampai sekarang dia berjalan cukup kesulitan dan enggan untuk ke luar rumah karena malu.

“Kadang-kadang nginep sini aja. Pasti Inun seneng,” lanjut Yu Lik meminta Saroh menginap ke rumah beliau.

“Aku mau, Yu. Tapi, gak dibolehin ibuk.”

“Ya, kapan-kapan kalo gitu nginap di sini.”

“Nggeh.” (Iya)

Azan Magrib berkumandang. Lamunan Saroh buyar mengingat obrolan tadi sore bersama Yu Lik.

Dia duduk di ruang tengah sambil melihat televisi yang padam. Kalau menonton televisi sekarang malah ibunya marah. Karena, aturan di rumahnya sangat ketat. Jangan nonton televisi saat azan Magrib! Memang Saroh sering melanggar larangan tersebut. Makanya ibunya marah seperti itu.

Saroh mengambil air wudhu di kamar mandi untuk solat Magrib di musola. Musola Al Mubarrok berdiri dari tanah waqaf Mbah Markam yang terletak beberapa meter dari rumahnya.

Anak berambut sebahu itu mengambil mukena di kamar paling belakang dengan sekali tarik, karena takut. Lampu kuning 5 watt itu terlihat suram. Semua lampu rumahnya dari lampu kuning. Bapaknya mampu beli lampu 5 watt saja. Yang penting rumah ada penerangan.

Seusai solat Magrib, Bu Kenik menyuruh Saroh makan. Ini momen yang paling ditunggu. Masakan ibunya yang selalu beragam membuatnya makan dengan lahap. Padahal oseng tahu tempe bumbu tomat. Kadang tumis kangkung dan lauk tempe tahu goreng pun sudah enak.

“Buk, Bapak di mana?” tanya Saroh pada Ibunya yang berada di sampingnya. Beliau sedang melipat baju yang pagi tadi selesai dijemur.

“Di dapur sedang ngerokok,” jawab Bu Kenik dengan kedua tangannya terampil melipat baju dengan cekatan.

“Lauknya enak, Buk,” ucap Saroh lagi dengan mulutnya yang mengunyah makanan. Dia mengangguk-angguk saking enaknya masakan ibunya itu. Dia tidak peduli perutnya kekenyangan dan dia tidak akan bilang kalau dirinya sudah makan sore tadi di rumah Yu Lik.

“Kalo makan jangan ngomong! ‘Gak ilok’ (pamali),” sentak Bu Kenik pada anak satu-satunya itu.

Glek!

Saroh menelan makanan yang dia kunyah dengan susah payah. Tiba-tiba, tenggorokannya terasa berat menelan makanannya. Dia langsung diam dan secepat mungkin menghabiskan makanannya. Sampai sendok dan piring berdentingan. Membuat Bu Kenik mengembuskan napasnya dengan kasar.

“Kalo makan jangan berisik! Kata orang dulu ngundang setan. Pelan-pelan kalo makan. Siapa yang mau minta makananmu? Ibuk Bapak udah makan,” gertak Bu Kenik lagi sambil mengelus dadanya. Sepertinya, kelakuan anak sulungnya ini dua kali lipat bandelnya.

Saroh hanya mengangguk saja. Dia tidak berani menjawab. Kan, katanya tidak boleh ngomong saat makan. Jadi, dia hanya mengangguk saja saat ibunya melarang.

“Makan diabiskan! Nanti ayammu mati. Jadi, hari raya gak akan masak kare ayam,” ujar Bu Kenik kembali. Matanya melirik anaknya makan yang sedang menyisihkan satu per satu butiran nasi yang ada di pinggiran piring kaca.

Saroh menelan makanan terakhirnya. Piringnya bersih dan tidak ada satu pun sisa nasi. Dia takut kalau ayamnya mati semua. Sayang, kan, kalau hari raya tidak makan kare ayam. Karena, makan lauk ayam nunggu hari raya tiba.

“Abis, Buk,” ucap Saroh pada ibunya.

“Taruh di dapur, nanti dicuci Ibuk sendiri,” titah Bu Kenik pada Saroh. Beliau berdiri mendekap lipatan baju dan akan meletakkannya di lemari pakaian di kamar tengah.

Sedangkan, Saroh berjalan pelan sambil melihat kanan kiri dan belakang. Dia takut ke dapur. Dapurnya yang luas dengan dinding terbuat dari anyaman bambu membuat keadaan dapur sangat menyeramkan dan gelap. Lampu kuning tidak dapat menerangi area dapur. Bagian pojok lumayan gelap. Ditambah beberapa baju orang tuanya khusus dipakai ke ladang diletakkan begitu saja pada sebatang bambu yang dijadikan jemuran. Bawah jemuran ada sepeda ontel milik bapaknya dulu saat dipakai kerja jauh ikut proyek. Sekarang menjadi tukang bangunan di daerah sini saja.

Saroh turun dari tangga yang hanya tiga buah dan dia memakai sandal jepit. Maklum, dapurnya masih berlantaikan tanah. Anak itu meletakkan piring ke bak kecil dan dia tidak lupa melirik bapaknya yang sangat menikmati rokok dengan secangkir kopi di meja bundar. Saroh pun mendekati bapaknya dengan takut. Dia ingin bertanya sesuatu yang sangat membuat benaknya penasaran.

Saroh duduk di ‘bayang’ (dudukan terbuat dari bambu). Dirinya menatap Bapaknya sekilas dan langsung mengajukan sebuah pertanyaan.

“Pak, kenapa pintu depan belum dibuka Ibuk?”

“Mau keluyuran lagi. Kan, tadi udah dimarahin Ibukmu.”

“Mboten (tidak), Pak. Itu Magrib, kan, udah dari tadi. Kok pintu depan belum dibuka.”

“Ibukmu lagi ngapain di dalem?”

“Lipat baju.”

“Udah tau gitu. Nanti juga dibuka Ibukmu. Pintu depan ditutup pas waktu ‘surup’.”

“Kenapa ditutup, Pak? Pintu rumah orang-orang juga ditutup.”

“Waktu ‘surup’ datang memang harus ditutup pintunya. ‘Surup’ itu waktu datangnya saat magrib. Liat senja di Barat, kan. Itu tandanya. Makanya anak kecil kayak kamu jangan suka keluyuran. Nanti disembunyikan setan. Waktu tersebut setan banyak yang ke luar dari sarangnya. Mau gak disembunyiin setan?”

“Gak, Pak!”

“Makanya Ibukmu ngomong itu didengarkan. Biar gak kena jewer lagi. Udah sering dijewer kok masih ‘ndablek’ (nakal).”

Pak Soleh nama orang tua Saroh. Laki-laki yang sangat bertanggung jawab dan tenang saat memberikan penjelasan. Saroh sangat dekat dengan Bapaknya dan dia sangat senang mendengar penjelasan Bapaknya. Ya, walaupun sedikit merasa bersalah, karena dirinya telah melanggar janjinya.

“Kalo kamu gak mau Ibukmu marah, turuti aja omongannya.”

Saroh mengangguk dan membenarkan perkataan Bapaknya. Namun, ada sedikit penolakan dalam hatinya. Dirinya sudah menuruti apa kata Ibunya, lalu yang dimau wanita yang melahirkannya itu apa lagi?

Bersambung

Pict by Pinterest
Edit by PicsArt

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *